Ayah, Aku Ingin Bicara
Oleh: Ade N. Syahmeniar
Ayah, aku ingin bicara…
Meski aku hanya diam, kau tahu apa yang kuingin
Semua kau penuhi dengan balutan kasihmu untukku
Meski aku hanya diam, kau tahu apa yang kuingin
Semua kau penuhi dengan balutan kasihmu untukku
Ayah, aku ingin bicara…
Kurasakan begitu berat hatimu jauh meninggalkanku
Tiap jam kau menelponku
Meski kau tahu, tak kan bisa mendengar suaraku
Hanya ketukan jariku sebagai isyarat
Dan kau selalu mengakhiri dari ujung telepon dengan kata yang sama, “Alhamdulillah”
Kurasakan begitu berat hatimu jauh meninggalkanku
Tiap jam kau menelponku
Meski kau tahu, tak kan bisa mendengar suaraku
Hanya ketukan jariku sebagai isyarat
Dan kau selalu mengakhiri dari ujung telepon dengan kata yang sama, “Alhamdulillah”
Ayah, aku ingin bicara…
Sepanjang hidup kau berharap dapat mendengar suaraku
Segala upaya kau lakukan
Kini aku hanya bisa mengusap nisanmu
Masih diam tanpa suara
Sepanjang hidup kau berharap dapat mendengar suaraku
Segala upaya kau lakukan
Kini aku hanya bisa mengusap nisanmu
Masih diam tanpa suara
Ayah, aku ingin bicara…
Sungguh aku ingin bicara
Andai aku bisa, aku hanya ingin bicara satu kalimat
Ya, satu kalimat saja
“Aku mencintaimu, ayah…”
Hanya itu yang ingin aku bicarakan padamu
Tapi hingga kini hanya hatiku yang mampu bicara
Belum dengan lisanku
Sungguh aku ingin bicara
Andai aku bisa, aku hanya ingin bicara satu kalimat
Ya, satu kalimat saja
“Aku mencintaimu, ayah…”
Hanya itu yang ingin aku bicarakan padamu
Tapi hingga kini hanya hatiku yang mampu bicara
Belum dengan lisanku
Ayah, aku ingin bicara…
Dan semoga kau mendengarnya…
Dan semoga kau mendengarnya…
dakwatuna.com - Kini aku hanya bisa memandangi puisi itu di dinding kamarku. Aku rindu ayah. Aku rindu senyumnya, candanya, kerut keningnya, semua kurindu. Aku rindu saat ia menelpon. Lucu rasanya. Telepon adalah alat komunikasi yang menggunakan suara. Sedangkan aku, apa yang bisa kuucapkan? Sejak kecil aku tak bisa bicara. Aku bisu. Jadi, lucu rasanya jika ada orang bisu menggunakan telepon. Kira-kira apa yang bisa diucapkannya?
Aneh, ayahku aneh. Tapi itu menurut orang lain. Tapi sebagai orang ‘aneh’, aku tak pernah menganggap ayahku aneh. Ayah adalah ayah terhebat sedunia. Ia mengajariku kode morse yang cukup menggunakan ketukan. Aku tak perlu bicara. Jika ayah bertanya, aku cukup menjawab dengan ketukan. Aku dan ayah punya kode sendiri dalam ketukan. Satu ketukan artinya aku sedang tidak bisa menerima telepon. Dua ketukan artinya aku baik-baik saja, dan ayah bisa langsung menutup telepon. Jika tiga ketukan, itu tandanya ada yang ingin aku bicarakan. Barulah kemudian aku menggunakan kode morse seperti yang ayah ajarkan padaku.
Apakah ayahku orang yang aneh? Tidak, tidak sama sekali. Ayahku ayah paling kreatif sedunia.
Ayah tak pernah mengajariku bahasa isyarat. Yang diajarkannya padaku adalah berbagai jenis huruf. Ayah menguasai huruf-huruf dari berbagai Negara. Huruf Arab, India, Cina, Jepang, Korea, aksara jawa, dll. Semua huruf-huruf itu sudah diajarkan sejak aku berusia 3 tahun. Dulu aku tak mengerti tujuan ayah mengajarkan huruf-huruf aneh itu pada orang bisu sepertiku. Untuk apa? Apa cuma ingin cari sensasi? Meskipun anaknya bisu, tapi bisa menulis berbagai macam huruf. Sesempit itukah tujuan ayah?
“Ayah yakin, nanti kamu bisa datang ke semua Negara itu. Kalau kamu ngerti tulisannya, paham bahasa mereka, kamu gak bakalan nyasar. Bisu itu cukup mulutmu, tapi kamu masih punya bagian tubuh lain yang gak bisu. Gunakan itu untuk bisa bicara.” Oh, ayah… betapa cerdas dirimu.
Setelah aku menguasai huruf-huruf aneh itu, ayah selalu menyuruhku untuk menulis hingga berlembar-lembar. Kata ayah, aku harus bisa menulis cepat. Bahasa isyarat hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah mempelajarinya. Tapi semua orang pasti mengerti dengan apa yang aku tulis. Setiap hari ayah selalu bertanya, “Buku sakumu masih ada?” ayah sangat senang setiap aku menghabiskan buku saku. Itu artinya aku banyak berkomunikasi dengan orang lain. Ayah juga mengajarkan padaku, jika aku bertanya pada seseorang, aku harus menulis jawabannya. Untuk itulah aku butuh keahlian menulis cepat. “Ikatlah ilmu dengan tulisan,” begitulah ayah sering mengingatkanku. Ilmu yang dituliskan, suatu saat bisa dibaca lagi. Kalau tidak ditulis, bisa jadi ilmu itu terlupakan.
Ayah, betapa hebat dirimu, dan aku selalu mengagumimu. Kau ayah terhebat, ayah yang cerdas, ayah yang kreatif, juga ayah yang pengertian. Aku tak pernah menuliskan bahwa aku menginginkan sesuatu, tapi kau selalu tahu apa yang ku mau. Melihat sepatuku yang sudah lusuh, tanpa kuminta, kau belikan aku yang baru. Dan kau sangat tahu model sepatu yang ku suka. Saat hujan di malam hari, kau buatkan semangkuk sup hangat untuk menemaniku belajar. Kau pun selalu mengerti saat aku merasa jenuh, saat aku sedih, saat aku senang, saat aku ingin memelukmu, dan saat aku merindukan ibu. Betapa hebatnya dirimu, meskipun aku tak pernah melihat ibu sejak lahir, tapi ceritamu membuatku merasakan bahwa ibu selalu ada dan sangat mencintaiku.
Aku selalu tertawa geli melihat ayah masak nasi goreng. Ayah selalu mengikuti gaya ibu. Menurut cerita ayah, ibu selalu masak nasi goreng dengan gayanya yang heboh. Botol kecap yang dimainkan bak bartender, begitu lincah. Tubuhnya ikut bergoyang mengikuti irama alunan ketukan sendok penggorengan. Dan aku selalu menantikan tiga ketukan khas ibu. Karena tiga ketukan itu artinya nasi goreng sudah selesai dimasak.
Ayah juga sering bercerita tentang kebiasaan ibu yang lainnya. Semua itu ayah tiru agar aku bisa menyaksikan bagaimana kebiasaan ibu dulu. Ibu yang menyetrika baju dari ujung lengan, mencuci sambil bernyanyi, menyapu hingga halaman tetangga, tidur dengan memegang telinga, dan yang paling lucu saat ibu menyambut setiap ayah pulang, selalu ada adegan “cii…luk…baa…” dan sekarang ayah lakukan adegan itu padaku.
Pernah suatu hari aku bercerita pada ayah. Itu pertama kalinya aku merasakan hal yang berbeda dalam hati. Dagdigdug dagdigdug…casciscus…nyeeesss… ah, susah diungkapkan. Awalnya aku tak ingin bercerita. Bukan karena aku sulit bicara, tapi aku takut ayah tak suka. Lebih-lebih aku malu, walau hanya sekedar bertanya, “perasaan apa ini, yah?” namun ayah begitu tahu tentangku. Ia mengerti ada yang berbeda. Ia tahu hatiku sedang berbunga-bunga. Meski tak terdengar, ayah bisa merasakan jantung yang dagdigdug ini. Aku ingin cerita, tapi tapi tapi… aduh dududuuhh…. Aku jadi salah tingkah di depan ayah.
“Hayoo….koq senyumnya agak aneh?” kata ayah menggodaku. Aku semakin malu. Dalam hatiku ragu, “cerita gak ya… hmm… cerita aja deh… ah, jangan… duh, cerita aja kali ya… tapi…”
“Udah, sini ayah pengen tahu ceritamu.” Ayah seolah mengerti dialog dalam hatiku.
Kuceritakan panjang lebar hingga tinggi, dari awal hingga akhir, sampai akhirnya aku merasakan getaran yang tak biasa ini. Tanganku sampai pegal rasanya menulis cerita untuk ayah. Tulisanku tak rapi, banyak coretan. Aku gugup, malu, panik, senang, takut. Ah, semua rasa seolah bercampur jadi satu dalam hati. Namun ayahku mengerti maksud ceritaku.
Ayah tidak marah, malah tersenyum manis padaku. Senyum yang membuat hatiku menjadi stabil. Senyum hangat yang membuatku tenang. Tak lagi gugup. Hilang sudah gemetar. Ayah hanya berkata singkat, “Anak ayah sudah mulai dewasa. Gak masalah, itu perasaan yang wajar kok. Nyantai aja. Tapi…” aku menunggu kata-kata ayah yang menggantung. Kutarik-tarik lengan bajunya seperti anak-anak yang merengek minta dibelikan es krim.
Ayah tersenyum. Ia sangat pandai menggodaku. Aku kembali merengek, ia malah melengos. Mungkin ia tak sanggup menahan tawa melihat anaknya yang penasaran setengah mati. “Oke oke… tapi, jangan kamu terusin perasaan itu. Karena itu hanya perasaan sesaat. Hari ini mungkin kamu belum mengerti, tapi saat kamu sudah dewasa, kamu akan paham apa yang ayah maksud.”
Ayah, aku ingin bicara. Sayang kini kau tiada. Aku sekarang mengerti, yah. Aku paham dengan apa yang ayah maksud dulu. Ayah benar, perasaan seperti itu harus dikelola dengan baik. Hati ini harus ditata sebaik mungkin agar ia berlabuh di muara yang tepat. Aku mengerti dari cinta ayah dan ibu.
***
Pernah aku terbangun di malam hari, kulihat ayah sedang khusyuk dengan doanya. Aku berlalu ke kamar mandi. Namun langkahku seketika berhenti mendengar doa ayah. Namaku disebut-sebut dalam doanya. Air mataku spontan jatuh bercucuran mendengar harapan dalam doamu. Sebuah harapan sederhana, namun sulit terwujud. Tak kusangka dalam keceriaannya, ayah menyimpan harapan sederhana itu seumur hidup. Ayah ingin mendengar suaraku.
Kupeluk ayah erat. Ingin kubisikkan di telinganya dengan lembut, “Aku mencintaimu, ayah.” Tapi aku tak bisa. Aku hanya bisa bergumam dalam hati. Air mataku kian deras. Ayah mendekapku erat. “Semoga kamu bisa membimbing ayah mengucapkan dua kalimat syahadat, ya nak…”
Kini ayah telah tiada, dan aku masih tak bisa bicara. Ayah, semoga kau dapat mendengar suara hatiku. Semoga doa-doaku dapat kau dengar di alam sana. Aku akan selalu mendoakan ayah dan ibu.
Ayah, aku ingin bicara…